Musibah banjir yang menimpa sebagian wilayah Jakarta seakan menjadi komoditas empuk bagi program penyiaran televisi. Sebut saja misalnya TV*ne, setiap hari selalu meng-update berita banjir ini. Dari menit ke menit seperti tidak lepas dari program pemberitaan. Di satu sisi memang baik, tapi di sisi yang lain bisa menimbulkan efek kekhawatiran yang mendalam bagi keluarga korban dan masyarakat lainnya. Keluarga saya yang ada di Kalimantan misalnya, acapkali menelpon atau sms untuk memastikan bahwa kami memang tidak termasuk korban banjir.
Sumber foto: batamtvnews.com |
Jangan sampai tujuan pemberitaan yang baik membuat orang menjadi trauma atau memiliki perasaan khawatir yang berlebihan Ini tentu tidak baik secara psikologis dan sosial. Media, khususnya lembaga penyiaran televisi sudah semestinya dapat menyajikan pemberitaan yang proporsional dan tidak berlebihan.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga negara yang berwenang dalam mengurusi penyiaran publik batasan-batasan mengenai apa yang diperbolehkan dan atau tidak diperbolehkan berlangsung dalam proses pembuatan program siaran dan juga menetapkan batasan apa yang diperbolehkan dan atau yang tidak diperbolehkan ditayangkan dalam program siaran. Sudah seharusnya TV-TV yang ada di Indonesia melaksanakan ketentuan yang telah dibuat oleh KPI ini.
Terkait peliputan bencana atau musibah, pada tahun 2004 KPI telah menetapkan lima ketentuan sebagai berikut:
1) peliputan subyek yang tertimpa musibah harus dilakukan dengan mempertimbangkan proses pemulihan korban dan keluarganya;
2) lembaga penyiaran tidak boleh menambah penderitaan orang yang sedang dalam kondisi gawat darurat, korban kecelakaan atau korban kejahatan, atau orang yang sedang berduka dengan cara memaksa, menekan, mengintimidasi orang bersangkutan untuk diwawancarai atau diambil gambarnya;
3) penyajian gambar korban yang sedang dalam kondisi menderita hanya dibolehkan dalam konteks yang dapat mendukung tayangan;
4) lembaga penyiaran harus menghormati peraturan mengenai akses media yang dibuat oleh rumah sakit atau institusi medis lainnya;
5) terhadap korban kejahatan seksual, lembaga penyiaran tidak boleh mewawancarai korban mengenai proses tindak asusila tersebut secara terperinci.
Ketentuan tersebut lebih berkaitan pada korban musibah. Dan lebih cenderung ditujukan kepada program penyiaran televisi. Akan tetapi, lima hal tersebut juga dapat diaplikasikan bagi jurnalis lain, semisal wartawan suratkabar. Bahkan seorang blogger pun sudah semestinya dapat menyesuaikan dengan kaidah yang ditetapkan untuk tujuan kebaikan bersama tersebut. Bukan begitu?
0 comments:
Post a Comment