Tulisan ini sejatinya bermula dari pengalaman saya sepulang dari Kantor Kementrian Agama Republik Indonesia. Hari ni merupakan kali ketiga saya mendatangi kantor yang terletak di Jalan Lapangan Banteng Barat ini. Tidak beda jauh dengan yang kedua, kali ini pun tujuan utama saya dapat dikatakan belum berhasil. Tiga kali sudah mengurus usulan SK pensiunan janda ibu dari teman saya di Kalimantan Selatan, selalu saja saya menelan kecewa. Cukuplah saya sendiri yang tahu tentang sebab kekecewaan ini
.
Alhamdulillah, Allah SWT maha pengasih dan penyayang. Saya bersyukur karenanya. Dari sopir taksi yang saya tumpangi siang tadi, saya mendapat ilmu yang sangat bermanfaat. Tentang menunaikan kewajiban dan hak. Kewajiban ditunaikan dulu, baru hak akan diberikan kepada kita, biasanya memang begitu adanya. Saya ceritakan dengan gaya bahasa saya, semoga tidak ada kebohongan dalam hal ini. Semata-mata sebagai pelajaran dan hikmah yang patut untuk dicatat dan diamalkan.
Sopir taksi yang asli betawi ini, menurut pengakuan beliau tinggal di daerah Buncit Jakarta, rupanya pandai berbahasa Arab. Beberapa kali dia berbicara dengan bahasa itu kepada saya seraya mengajak untuk bicara bahasa arab juga. Sayang sekali saya hanya mengetahui sedikit kosa kata bahasa Arab. Itupun kosa kata di Kitab, bukan kosakata pergaulan sehari-hari. Jelas berbeda antara bahasa Arab kitab dengan bahasa sehari-hari, ibarat bahasa Indonesia dengan bahasa banjar.
Bapak sopir ini cerita bahwa dia dulu pernah usaha konveksi. Sebagai pengusaha jahit menjahit tentu memerlukan tenaga kerja, minimal diri sendiri. Suatu ketika, ada orang yang ingin bekerja menjahit dengan beliau. Setelah dites, bekerja lah orang itu sebagai karyawan menjahit.
Suatu saat, beliau memesan kain untuk bahan jahitan dari Tanah Abang. Diantarlah bahan itu ke tempat usahanya. Maka kata sang sopir, [beliau] tidak boleh menyuruh [baca: memerintah] karyawan menjahit tadi untuk memikul bahan yang datang untuk dibawa masuk. Itu namanya menjadikan orang merdeka sebagai budak. Karena sejatinya, orang tersebut bekerja bukan untuk memikul-mikul, tetapi bekerja sebagai penjahit.
Kalaupun disuruh, menurut pak sopir, karyawan itu haruslah diupah untuk pekerjaan memikul itu. Jika tidak, maka itu haram hukumnya. dan itu adalah dosa.
Itulah yang semestinya. Memang, kita perhatikan kadang pengusaha tidak sadar telah menjadikan dirinya memperbudak orang lain. Biasanya dengan menyuruh itu ini, yang notabene nya bukan pekerjaan yang wajib dilakukan sebagai pekerja.
Begitu juga, seorang sopir bayar untuk masuk jalan tol, jalan bebas hambatan. Kewajibannya adalah bayar. Sedangkan haknya adalah jalan yang dilaluinya harus bebas hambatan, tidak ada macet. Jika masih macet, maka itu adalah dosa pemerintah, dan dosa pihak-pihak yang terkait dengan pemungutan bea jalan tol tersebut. Itu salah satu contoh yang terjadi di kehidupan kita sehari-hari
Semoga bermanfaat.
0 comments:
Post a Comment